Butuh perencanaan setahun untuk bisa memutuskan saya akan mendaki gunung sendirian. Solo hiking. Selain memilih gunung yang cocok untuk pemula seperti saya, ketersediaan dana juga jadi pertimbangan tersendiri. September 2014, saya putuskan untuk mendaki Sindoro. Tepat Agustus 2015, saya melaksanakan rencana itu. Memenuhi keinginan untuk solo hiking sekaligus ingin mengabadikan momentum upacara 17-an di puncak Sindoro. Lumayan, bisa untuk sekalian liputan. Minimal foto saya bisa mejeng di koran. Saya ingin mencoba solo hiking, tentu saja karena bermodalkan ilmu yang saya dapat dari teman-teman Mapasadha. Ditambah beragam referensi yang bisa diakses lewat internet. Pengenalan jalur pun dilakukan selama berbulan-bulan hasil menonton video-video pendakian Sindoro yang ada di Youtube. Jalur yang saya pilih adalah Sigedang. Sempat nyasar mampir di basecamp Sikatok, akhirnya malam-malam, 15 Agustus, saya sampai di rumah Mbah Amin. Orang yang disebut sebagai juru kunci Sindoro. Pertama kali bertemu beliau, saya teringat dengan Pak Tiyoso di Wekas, lereng Merbabu. Perawakan Mbah Amin tidak beda jauh dengan Pak Tiyoso. Begitu juga dengan keramahtamahanya. Numpang tidur semalam, 16 Agustus pagi saya putuskan untuk memulai perjalanan. Meskipun judulnya solo hiking, ternyata saya bertemu banyak orang di jalur pendakian Sigedang. Sampai pos tiga, saya masih bisa merasakan jalan berombongan. Namun, rombongannya beda-beda orang. Itulah, mungkin, enaknya solo hiking. Bisa bergabung dengan orang yang bermacam-macam. Selepas pos tiga itulah, saya baru benar-benar merasakan solo hiking. Berjalan mendaki sendirian melewati jalan-jalan yang belum pernah saya lalui. Keluar dari kawasan pasar watu pertama, hari sudah cukup sore. Lebih dari jam empat. Saya yang belum makan besar dari pagi, berhenti sejenak untuk masak mi. Makanan idola saat naik gunung. Keseruan solo hiking pun dimulai. Selesai makan, saya melanjutkan perjalanan. Kira-kira pukul 18.00 WIB. Sekitar setengah jam berjalan, saya berdiri di samping tenda berkapasitas empat orang. Mengambil napas panjang sambil melihat aktivitas orang di dalam tenda. Aktivitasnya sangat terlihat jelas. Sedang memasak. Dari luar tenda, api begitu menyala terang. Baru beberapa langkah meninggalkan tenda, terdengar teriakan,”api, api, api.” Saya yang berjarak sekitar tiga meter di atas samping tenda, melihat orang dari dalam tenda membuang kompor yang apinya masih berkobar ke semak belukar. Lokasinya di atas tenda. Karuan saja, api membakar semak belukar yang kering kerontang di musim kemarau. Parahnya lagi, kobaran api yang membesar cepat itu cuma berjarak dua meter dari saya. Panik? Tentu saja. Refleks, air dari botol minum kecil saya guyurkan ke semak belukar. Sadar upaya itu sia-sia, pikiran makin bingung. Mau lari turun? Mau lari naik? Atau keluarkan kamera untuk difoto? Di saat bingung itulah, penghuni tenda sudah menyerah tidak bisa memadamkan api. Dan api makin membesar. Saat itu pula, saya teringat pesan dari Ledheng, teman saya. Simbah manggung. Siang lembah, malam gunung. Langsung saja, kaki yang sebelumnya buat jalan sudah berat, terasa enteng buat lari naik. Menjauhi kobaran api. Sendirian. Beberapa menit lari, barulah bertemu empat orang pendaki, yang masih terpukau dengan pemandangan api berkobar. Langsung saja saya suruh mereka lari karena angin kencang bisa membuat api menyambar kemana-mana. Ketika api sudah terlihat kecil, pelarian saya hentikan. Berterima kasih pada pencipta langit dan bumi, saya diberi kesempatan untuk lari menjauh. Tidak terjebak kobaran api. Untungnya lagi, kencangnya angin tidak berlangsung lama sehingga rembetan api tidak terlalu luas. Perjalanan saya lanjutkan untuk segera mencapai Watu Kotak. Tentu saja dengan langkah santai sesantai-santainya. Belum lepas ingatan akan kobaran api, di jalan bertemu seorang perempuan dikelilingi teman-temannya. Rupanya, perempuan usia sekolah menengah atas itu kedinginan dan teman-temannya berusaha menolong. Beruntung, nyawa perempuan itu terselamatkan setelah sempat tak sadar beberapa menit. Sampai di sabana bawah puncak, hari sudah malam. Sekitar pukul 21.30 WIB. Beres urusan tenda, saya langsung tidur. Niatan memotret upacara terpenuhi ditambah mendokumentasikan Mbah Amin memasang patok baru di kawasan puncak serta berdoa di bibir kawah puncak dari jalur Kledung. Kenapa judulnya solo hiking bikin merinding? Biar tidak semua orang menjalani solo hiking tanpa persiapan matang. Silakan buat perencanaan matang sematang-matangnya sebelum solo hiking mengingat risikonya tidak kecil. Solo hiking tidak bikin merinding selama persiapannya matang.